Bahasa Persia Translate

Naver Papago-AI Translator

Naver Papago-AI Translator merupakan aplikasi penerjemah buatan Korea Selatan. Secara keseluruhan, Papago  memiliki fitur yang sama dengan aplikasi penerjemah lainnya, yakni dapat menerjemahkan teks dan suara.

Namun, kelebihan Papago dibanding aplikasi translate lainnya adalah bisa digunakan dalam keadaan offline. Tak hanya itu, Papago juga mengkhususkan translate untuk bahasa-bahasa di Asia termasuk Indonesia.

Kekaisaran Romawi vs. Parthia

Karena ketegangan antara kedua pihak dapat berujung pada perang lagi, maka Gaius Caesar dan Phraates berusaha melakukan perundingan pada 1 M. Berdasarkan perjanjian yang mereka sepakati, Parthia bersedia menarik pasukannya dari Armenia dan mengakui protektorat de facto Romawi di sana. Meskipun demikian, persaingan Romawi–Persia atas kendali dan pengaruh di Armenia terus berlangsung selama beberapa dekade berikutnya.[16] Keputusan raja Parthia Artabanus II untuk menempatkan putranya pada takhta Armenia yang kosong, memiu perang dengan Romawi pada 36 M, yang berakhir setelah Artabanus melepaskan pengaruh Parthia di Armenia.[17] Perang kembali meletus pada 58 M, setelah raja Parthia Vologases I memaksa menempatkan saudaranya Tiridates di takhta Armenia.[18][19] Pasukan Romawi menggulingkan Tiridates dan menggantikannya dengan seorang pangeran Kappadokia, memicu perang yang inkonklusif. Perang ini berakhir pada 63 M setelah Romawi setuju untuk membiarkan Tiridates dan keturunannyan untuk memerintah Armenia dengan syarat bahwa mereka menerima hak meraja dari kaisar Romawi.[20][21]

Serangkaian konflik baru terjadi pada abad ke-2 SM, ketika itu Romawi terus-menerus menang melawan Parthia. Kaisar Trajanus menginvasi Armenia dan Mesopotamia pada 114 dan 115 M. Dia menjadikan kedua wilayah itu sebagai provinsi Romawi. Dia juga menaklukkan ibu kota Parthia, Ktesiphon, sebelum akhirnya berlayar ke Teluk Persia.[22] Akan tetapi, pemberontakan meletus pada 115 M di tanah Parthia yang terjajah, ketika pemberontakan Yahudi yang besar terjadi di wilayah Romawi, sangat menguras sumber daya Romawi. Pasukan Parthia menyerang posisi-posisi kunci Romawi, dan garnisun Romawi di Seleukia, Nisibis dan Edessa diusir oleh penduduk lokal. Trajanus berhasil memadamkan pemberontakan di Mesopotamia, tetapi setelah menempatkan pangeran Parthia Parthamaspates di takhta Parthia sebagai penguasa klien Romawi, Trajanus pun menarik mundur pasukannya dan kembali ke Suriah. Trajanus meninggal pada 117 M, sebelum dia sempat mengatur ulang dan mengkonsolidasi kendali Romawi di provinsi-provinsi Parthia.[23][24]

Perang Parthia Trajanus menandai "pergeseran penekanan dalam 'strategi utama Kekaisaran Romawi' ", tetapi penerusnya, Hadrianus, memutuskan bahwa Romawi harus kembali menjadikan Efrat sebagai batas kekuasaan langsungnya. Hadrianus kembali pada keadaan status quo ante, dan menyerahkan wilayah Armenia, Mesopotamia, dan Adiabene, masing-masing kepada para penguasa dan raja di wilayah itu sebelumnya.[24][25]

Perang memperebutkan Armenia kembali pecah pada 161 M, ketika Vologases IV mengalahkan pasukan Romawi di sana, menaklukkan Edessa dan menggempur Suriah. Pada 163 M, serangan balik Romawi di bawah Statius Priscus mengalahkan Parthia di Armenia dan menempatkan kandidat yang didukung Romawi di takhta Armenia. Setahun kemudian Avidius Cassius menginvasi Mesopotamia, memenangkan pertempuran di Dura-Europos dan Seleukia, serta menjarah Ktesiphon pada 165 M. Sebuah epidemik di Parthia ketika itu, kemungkinan cacar, menular ke pasukan Romawi dan memaksa mereka untuk mundur;[26] Ini adalah asal mula Wabah Antoninus yang menjangkiti Kekaisaran Romawi selama satu generasi. Pada 195–197 M, Romawi melakukan serangan di bawah kaisar Septimius Severus dan berujung pada penguasaan Romawi atas Mesopotamia utara sampai sejauh daerah sekitar Nisibis, Singara. Romawi juga berhasil menaklukkan Ktesiphon untuk kedua kalinya.[27][28][29] Perang terakhir melawan Parthia dilancarkan oleh kaisar Caracalla, yang berhasil menaklukkan Arbela pada 216 M. Setelah dia dibunuh, penerusnya, Macrinus, dikalahkan oleh Parthia pada Pertempuran Nisibis. Supaya dapat memperoleh perdamaian, dia terpaksa harus membayar segala kerugian yang disebabkan oleh Caracalla kepada Parthia.[30][31]

Perang Romawi–Parthia

Republik Romawi vs. Parthia

Hubungan Parthia dengan Barat dimulai pada masa Mithridates I dan dilakukan kembali oleh Mithridates II, yang melakukan negosiasi dengan Lucius Cornelius Sulla mengenai kemungkinan persekutuan Romawi–Parthia (sek. 105 SM) meski akhirnya gagal.[4][5] Ketika Lucullus menginvasi Armenia Selatan dan memimpin sebuah serangan terhadap Tigranes pada 69 SM, dia menghubungi Phraates III guna memintanya supaya tidak ikut campur. Meskipun Parthia bersikap netral, Lucullus sempat mempertimbangkan untuk menyerang mereka.[6] Pada 66–65 SM, Pompeius mencapai kesepakatan dengan Phraates, dan pasukan Romawi–Parthia menginvasi Armenia, tetapi kemudian muncul percekcokan di perbatasan Efrat. Akhirnya, Phraates menegaskan kekuasaannya atas Mesopotamia, kecuali untuk distrik barat Osroene, yang menjadi tanah jajahan Romawi.[7]

Jenderal Romawi Marcus Licinius Crassus memimpin sebuah invasi ke Mesopotamia pada 53 SM yang berakhir dengan bencana; dia dan putranya Publius dibunuh pada Pertempuran Carrhae oleh pasukan Parthia di bawah Jenderal Surena; ini adalah kekalahan pertama Romawi sejak Pertempuran Cannae.[8] Parthia menggempur Suriah setahun kemudian, dan melakukan invasi besar pada 51 SM, tetapi pasukan mereka disergap di dekat Antigonea oleh Romawi, dan mereka pun dipukul mundur.[9]

Lua error in Modul:Navbar at line 58: Judul tidak sah Perang Romawi–Persia. Parthia tetap bersikap netral selama perang saudara Caesar, yang berlangsung antara pasukan pendukung Julius Caesar dan pasukan pendukung Pompeius dan faksi tradisional di Senat Romawi. Akan tetapi, Parthia tetap menjaga hubungan baik dengan Pompeius, dan setelah kekalahan serta kematian Pompeius, pasukan Parthia di bawah Pacorus I menolong jenderal Pompeius, Q. Caecilius Bassus, yang sedang dikepung di Lembah Apamea oleh pasukan Caesar. Setelah memenangkan perang saudara, Julius Caesar mempersiapkan kampanye melawan Parthia, tetapi dia keburu meninggal akibat dibunuh sehingga rencananya tidak jadi dilaksanakan. Parthia mendukung Brutus dan Cassius selama perang saudara Liberator dan mengirim satu kontingen untuk bertempur dalam Pertempuran Philippi pada 42 SM.[10] Setelah kekalahan para Liberator, Parthia menginvasi wilayah Romawi pada 40 SM bekerja sama dengan Quintus Labienus, orang Romawi mantan pendukung Brutus dan Cassius. Mereka dengan cepat menguasai provinsi Romawi Suriah dan bergerak menuju Yudea, mengalahkan klien Romawi Hyrcanus II dan menempatkan keponakannya Antigonus. Untuk sesaat, seluruh bagian timur Romawi tampaknya telah diambil oleh Parthia atau akan jatuh ke tangan mereka. Namun, hasil dari perang saudara Romawi dengan segera memulihkan kekuatan Romawi di Asia.[11] Markus Antonius mengirim Ventidius untuk menghadang Labienus, yang telah menginvasi Anatolia. Labienus dengan cepat dipukul mundur ke Suriah oleh pasukan Romawi, dan, meskipun dibantu oleh Parthia, dia dikalahkan, ditawan, dan dibunuh. Setelah kembali mengalami kekalahan di dekat Gerbang Suriah, Parthia menarik pasukannya dari Suriah. Mereka kembali pada 38 SM namun secara telak dikalahkan oleh Ventidius, dan Pacorus terbunuh. Di Yudaea, Antigonus digulingkan dengan bantuan Romawi oleh Herod pada 37 SM.[12][13][14] Setelah Romawi kembali menguasai Suriah dan Yudea, Markus Antonius memimpin pasukan besar menuju Atropatene (Azerbaijan modern), tetapi kereta kepung dan pasukan pengiringnya diisolir dan disapu habis, sementara sekutu Armenianya meninggalkannya. Gagal memperoleh perkembangan berarti melawan posisi Parthia, Romawi akhirnya mundur dengan kerugian yang besar. Antonius kembali ke Armenia pada 33 SM untuk bergabung dengan raja Media melawan Octavianus dan Parthia. Dia pada akhirnya terpaksa harus mundur dan keseluruhan wilayah itu dikuasai oleh Parthia.[15]

Aplikasi Translate Terbaik

Aplikasi translate terbaik yang pertama adalah Google Translate. Aplikasi buatan Google ini juga menjadi aplikasi penerjemah paling populer di masyarakat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Google Translate dapat diakses melalui browser atau aplikasi. Selain itu, cara menggunakannya pun sangat mudah. Pengguna bisa menerjemahkan bahasa dalam bentuk teks, gambar, suara hingga dokumen.

U Dictionary merupakan salah satu aplikasi translate atau penerjemah bahasa yang banyak diunduh di smartphone. Tidak hanya digunakan sebagai alat penerjemah, U Dictionary ternyata juga memiliki fitur lain seperti Grammar Check dan Conversation Translation. U Dictionary dapat diunduh secara gratis melalui Play Store atau App Store.

Aplikasi translate terbaik selanjutnya adalah iTranslate. Aplikasi ini bisa menerjemahkan teks ke lebih dari 100 bahasa.

Tidak hanya itu saja, pengguna juga bisa mendengarkan hasil terjemahan dengan suara perempuan atau laki-laki serta bisa menerjemahkan beragam dialek. Tidak hanya sebagai aplikasi translate, iTranslate juga memiliki fungsi lain yakni sebagai Andas dan Thesaurus.

Perang Bizantium–Sassaniyah

Perang pecah ketika raja Persia Kavadh I berusaha memperoleh dukungan keuangan secara paksa dari Kaisar Romawi Bizantium, Anastasius I.[64][65][66] Pada 502 M, dia dengan cepat menaklukkan kota Theodosiopolis yang tidak siap diserang[67][68] dan kemudian mengepung Amida. Pengepungan kota-benteng itu terbukti jauh lebih sulit daripada yang Kavadh perkirakan; pasukan bertahan berhasil menahan serangan Persia selama tiga bulan sebelum akhirnya dikalahkan.[69][70] Pada 503 M, Romawi berupaya merebut kembali Amida namun gagal. Sementara itu Kavadh menginvasi Osroene, dan kemudian mengepung Edessa yang berujung kegagalan.[71] Akhirnya pada 504 M, Romawi merebut Amida melalui investasi militer. Pada tahun tersebut, gencatan senjata tercapai sebagai akibat dari invasi Armenia oleh suku Hun dari Kaukasus. Meskipun kedua pihak bernegosiasi, baru pada bulan November 506 M perjanjian tersebut disetujui.[72][73] Pada 505 M, Anastasius memerintahkan pembangunan kota berbenteng besar di Dara. Pada saat yang sama, perbentengan yang rusak juga diperbaharui di Edessa, Batnae dan Amida.[74][75] Meskipun tidak ada lagi konflik berskala besar yang terjadi selama sisa masa pemerintahan Anastasius, tetapi ketegangan terus berlanjut, khususnya ketika pembangunan berlangsung di Dara. Ini karena pembangunan perbentengan baru di zona perbatasan oleh kedua kekaisaran sebenarnya telah dilarang melalui perjanjian yang telah disepakati beberapa dekade sebelumya. Akan tetapi Anastasius terus melanjutkan proyek ini meskipun Persia merasa keberatan. Tembok pertahanannya sendiri selesai dibangun pada 507–508 M.[73][76]

Pada 524–525 M, Kavadh mengusulkan pada Justinus I untuk mengadopsi putranya, Khosrau, tetapi perundingan mereka berakhir dengan kegagalan.[77][78][79] Ketegangan antara kedua pihak berujung kepada konflik ketika Iberia Kaukasus di bawah Gourgen membelot dan berpihak kepada Romawi pada 524–525 M.[80] Pertempuran terbuka Romawi–Persia pecah di daerah Transkaukasus dan Mesopotamia hulu pada 526–527 M.[81] Pada tahun-tahun awal dalam perang tersebut, Persia lebih unggul: pada 527 M, pemberontakan Iberia berhasil dipadamkan, serangan Romawi ke Nisibis dan Thebetha pada tahun tersebut juga berhasil dipukul mundur, selain itu pasukan Romawi yang dikerahkan untuk melindungi Thannuris dan Melabasa juga berhasil dihalau oleh Persia.[82][83] Berupaya memperbaiki kekurangan yang telah dimanfaatkan oleh Persia, kaisar Romawi yang baru, Justinianus I, mengatur ulang pasukan Romawi.[84]

Pada 530 M, sebuah serangan besar Persia di Mesopotamia dikalahkan oleh pasukan Romawi di bawah Belisarius pada Pertempuran Dara, sedangkan serangan kedua Persia ke Kaukasus dikalahkan oleh Sittas di Satala. Belisarius dikalahkan oleh pasukan Persia dan Lakhmid dalam Pertempuran Callinicum pada 531 M. Pada tahun yang sama Romawi merebut beberapa benteng di Armenia, sementara Persia menaklukkan dua benteng di Lazika timur.[85] Tidak lama setelah kegagalan di Callinicum, Romawi dan Persia berunding tanpa hasil.[86] Kedua pihak kembali berunding pada musim semi 532 M dan akhirnya menyepakati Perdamaian Abadi pada bulan September 532 M, yang hanya bertahan kurang dari delapan tahun. Kedua pihak setuju untuk mengembalkan semua wilayah yang mereka rebut, dan Romawi bersedia membayar sejumlah 110 centenaria (11,000 pon emas). Iberia tetap berada di tangan Persia, dan orang-orang Iberia yang telah meninggalkan negeri mereka diberi pilihan untuk tetap tinggal di wilayah Romawi atau kembali ke tempat asal mereka.[87][88]

Kekaisaran Romawi (Bizantium)

Wilayah yang direbut oleh Justinianus

Kekaisaran Sassaniyah

Negara vasal Sassaniyah

Reverso Translate and Learn

Aplikasi translate terbaik lainnya adalah Reverso Translate and Learn. Aplikasi ini menyediakan berbagai pilihan jenis bahasa yang bisa diterjemahkan termasuk bahasa Inggris.

Fitur yang tersedia pada aplikasi ini cukup baik diantaranya memberikan saran kata atau sinonim. Pengguna bisa mengunduh aplikasi ini secara gratis di Play Store dan App Store.

Memsource merupakan aplikasi translate yang wajib dicoba. Tak hanya menerjemahkan bahasa Inggris ke Indonesia, Memsource dapat membantu menerjemahkan berbagai bahasa lain dari seluruh dunia. Aplikasi translate ini mendapatkan rating cukup baik dan dapat diunduh melalui Play Store dan App Store secara gratis.

Itulah beberapa pilihan aplikasi translate Bahasa Inggris-Indonesia terbaik yang bisa digunakan. Melalui aplikasi tersebut, Anda bisa dengan mudah menerjemahkan kata-kata asing. Semoga membantu.

Kesalahan yang terjadi dalam Google Translate Bahasa Jawa ini bikin ketawa.

Perang Romawi–Persia adalah serangkaian konflik antara Romawi melawan dua kekaisaran Iranik yang berturut-turut; Parthia dan Sassaniyah. Hubungan antara Kekaisaran Parthia dan Republik Romawi dimulai pada tahun 92 SM; peperangan dimulai ketika masa akhir Republik Romawi dan terus berlanjut ketika Kekaisaran Romawi melawan Kekaisaran Sassaniyah. Konflik ini berakhir ketika munculnya invasi Muslim Arab, yang menghantam Sassaniyah serta Kekaisaran Romawi Timur dengan dampak yang sangat menghancurkan tidak lama setelah Romawi dan Sassaniyah berhenti berperang.

Meskipun peperangan antara Romawi dan Parthia/Sassaniyah berlangsung selama tujuh abad, garis depan kedua pihak cenderung tetap stabil. Tarik-menarik berlangsung: kota, benteng, dan provinsi terus-menerus diserang, ditaklukkan, dihancurkan, dan dipindahtangankan. Kedua belah pihak tidak memiliki kekuatan logistik dan tenaga manusia untuk menghadapi kampanye yang panjang dan jauh di luar perbatasan mereka, dan kedua belah pihak tidak mampu melaju terlalu jauh tanpa mengambil risiko membuat garis depan menjadi terlalu tipis. Kedua pihak memang melakukan penaklukan di luar perbatasan masing-masing, tetapi keseimbangan selalu kembali seperti semula. Garus kebuntuan bergeser pada abad ke-2 M: batasnya awalnya adalah di sepanjang Efrat; batas baru ada di timur, atau kemudian di timur laut, di seberang Mesopotamia sampai Tigris utara. Ada pula beberapa pergeseran penting lebih jauh di utara, yakni di Armenia dan Kaukasus.

Penghabisan sumber daya selama Perang Romawi–Persia pada akhirnya berujung bencana pada kedua Kekaisaran itu. Peperangan yang berkepanjangan dan meningkat pada abad ke-7 dan ke-6 SM menyebabkan kedua pihak menjadi lemah dan rentan ketika terjadi kebangkitan dan ekspansi yang tiba-tiba dari Kekhalifahan Muslim Arab, yang pasukannya menginvasi kedua kekaisaran itu hanya beberapa tahun setelah Perang Romawi–Persia berakhir. Memanfaatkan keadaan mereka yang melemah, pasukan Muslim Arab dengan cepat menaklukkan keseluruhan Kekaisaran Sassaniyah. Pasukan Arab juga merampas wilayah Kekaisaran Romawi Timur yang ada di Levant, Kaukasus, Mesir, dan Afrika Utara. Pada abad-abad berikutnya, sebagian besar Kekaisaran Romawi Timur berhasil dikuasai oleh Muslim.

Menurut James Howard-Johnston, "sejak abad ke-3 SM hingga abad ke-7 M, pemain yang bersaing [di Timur] adalah pihak yang kuat dengan ambisi besar, yang mampu mendirikan dan mengamankan wilayah yang melampaui daerah-daerah yang terbagi-bagi".[1] Romawi dan Parthia mulai melakukan kontak melalui penaklukan masing-masing terhadap Kekaisaran Seleukia. Selama abad ke-3 SM, orang-orang Parthia mulai bermigrasi dari stepa Asia Tengah ke Iran utara. Meskipun dikuasai untuk sementara waktu oleh Seleukia, pada abad ke-2 SM mereka berhasil bebas dan mendirikan negara merdeka yang secara perlahan-lahan meluas, menaklukkan Persia dan Mesopotamia. Dipimpin oleh Dinasti Arcasiyah, Parthia menghalau beberapa usaha Seleukia untuk merebut kembali bekas wilayah kekausaan mereka, dan Parthia malah terus memperluas kekuasaan mereka sampai ke India (lihat Kerajaan India-Parthia).[2][3] Sementara itu Romawi mengusir Seleukia dari wilayah kekuasaan mereka di Anatolia pada awal abad ke-2 SM, setelah mengalahkan Antiokhos III yang Agung pada Pertempuran Thermopylae dan Pertempuran Magnesia. Pada akhirnya, pada tahun 64 SM Pompeius menaklukkan sisa-sisa kekuasaan Seleukia di Suriah, memusnahkan negara tersebut dan memajukan batas timur Romawi sampai ke Efrat, yang berbatasan langsung dengan wilayah kekuasaan Parthia.[2]

Strategi dan siasat militer

Ketika Kekaisaran Romawi dan Parthia bentrok untuk pertama kali, tampak bahwa Parthia memiliki potensi untuk mendorong garis depannya sampai ke Aigea dan Mediterania. Namun, di bawah Pacorus dan Labienus, Romawi menghalau invasi besar terhadap Suriah dan secara perlahan-lahan mampu mengambil keuntungan dari lemahnya sistem militer Parthia, yang, menurut George Rawlinson, sesuai untuk pertahanan nasional namun kurang cocok untuk penaklukan. Romawi, di lain pihak, terus-menerus memodifikasi dan memperbaharui "siasat utama" mereka sejak masa Trajanus, dan pada akhirnya Pacorus dapat melancarkan serangan terhadap Parthia.[167][168] Seperti halnya Sassaniyah pada akhir abad ke-3 dan ke-4 M, Parthia secara umum menghindari pertahanan berkelanjutan atas Mesopotamia dalam menghadapi Roamwi. Akan tetapi, dataran tinggi Iran tidak pernah berhasil ditaklukkan oleh Romawi. Ini disebabkan ekspedisi Romawi selalu sudah mengalami kelelahan ketika mencapai Mesopotamia hilir, dan jalur komunikasi mereka yang sangat panjang melalui wilayah yang tidak cukup bersahabat menjadikan pasukan Romawi rawan terhadap adanya pemberontakan dan serangan balik.[169]

Sejak abad ke-4 M, Sassaniyah Persia tumbuh kuat dan mengambil alih peran sebagai agresor. Mereka merasa bahwa banyak daerah yang diperoleh Romawi pada masa Parthia dan masa awal Sassaniyah sebenarnya merupakan wilayah milik Persia.[170] Everett Wheeler berpendapat bahwa "Sassaniyah, secara administratif lebih terpusat daripada Parthia, secara formal mengatur pertahanan wilayah mereka, meskipun mereka kekurangan pasukan tempur sampai masa Khosrau I".[169] Secara umum, Romawi mengakui bahwa Sassaniyah merupakan ancaman yang lebih serius daripada Parthia, sementara Sassaniyah menganggap Kekaisaran Romawi sebagai musuh terkuat.[171][172]

Secara militer, seperti halnya Parthia, Sassaniyah amat sangat tergantung pada pemanah berkuda ringan dan katafrakt, kavaleri berbaju zirah berat yang disediakan oleh aristokrasi. Mereka menambahkan kontingen gajah perang yang didapat dari Lembah Sungai Indus, tetapi kualitas infantri mereka kalah bagus jika dibandingkan dengan prajurit Romawi.[173] Kavaleri berat Persia menimbulkan beberapa kekalahan terhadap prajurit pejalan kaki Romawi, termasuk terhadap pasukan pimpinan Crassus pada 53 SM,[174] Markus Antonius pada 36 SM, dan Valerianus pada 260 M. Kebutuhan untuk mengatasi ancaman ini berujung pada diperkenalkannya cataphractarii ke dalam pasukan Romawi;[175][176] akibatnya, kavaleri berbaju zirah berat menjadi semakin penting baik bagi pasukan Romawi maupun Persia setelah abad ke-3 M, dan sampai akhir perang.[170] Romawi telah meraih dan mempertahankan kecanggihan tingkat tinggi dalam hal peperangan kepung, dan telah mengembangkan berbagai macam mesin kepung. Di lain pihak, Parthia kurang ahli dalam mengepung; pasukan kavaleri mereka lebih cocok untuk siasat serang dan kabur yang mampu menghancurkan kereta kepung Antonius pada 36 SM. Situasi ini berubah dengan bangkitnya Sassaniyah. Dengan berdirinya Sassaniyah, Romawi kini berhadapan dengan musuh yang memiliki kemampuan yang setara dalam hal kepung-mengepung. Sassaniyah mampu memanfaatkan artileri, mesin-mesin yang dirampas dari Romawi, tanggul, dan menara kepung.[177][178]

Menjelang akhir abad ke-1 M, Romawi mengatur ulang perlindungan perbatasan timurnya dengan suatu garis perbentengan, yaitu sistem limes, yang bertahan sampai datangnya penaklukan Muslim pada abad ke-7 M setelah perbaikan oleh Diocletianus.[179][180] Seperti halnya Romawi, Sassaniyah juga membangun dinding pertahanan yang menghadap ke wilayah musuh mereka. Menurut R. N. Frye, pada masa pemerintahan Shapur II, sistem Persia dikembangkan, kemungkinan meniru Diocletianus yang membangun limes di perbatasan Suriah dan Mesopotamia di Kekaisaran Romawi. Unit perbatasan Romawi dikenal sebagai limitanei, dan mereka berhadapan dengan Lakhmid di Irak, yang sering membantu Persia menyerang Romawi. Shapur menginginkan adanya kekuatan pertahanan permanen melawan suku-suku Arab lainnya di gurun, khususnya suku-suku yang bersekutu dengan Romawi. Shapur juga membangun garis perbentengan di barat yang meniru sistem limes Romawi, yang membuat orang-orang Sassaniyah terkesan.[181][182]

Pada masa awal kekuasaan Sassaniyah, sejumah negara oenyangga ada antara kedua kekaisaran. Seiring waktu, negara-negara penyangga itu dikuasai oleh kedua kekaisaran, dan pada abad ke-7 M negara penyangga terakhir, Lakhmid Arab Al-Hirah, dikuasai oleh Kekaisaran Sassaniyah. Frye mengamati bahwa pada abad ke-3 M negara klien semacam itu memainkan peranan penting dalam hubungan Romawi–Sassaniyah, tetapi kedua kekaisaran secara berangsur-angsur mengganti negara macam itu dengan sistem pertahanan yang terorganisir yang diatur oleh pemerintah pusat, dan didasarkan pada limes serta kota-kota berbenteng di perbatasan, misalnya Dara.[181] Studi dan penelitian terkni yang membandingkan Sassaniyah dan Parthia menunjukkan bahwa Sassaniyah memang lebih unggul dalam teknik pengepungan serta organisasi dan rekayasa militer,[182][183] selain juga kemampuan untuk membangun pertahanan.[184]

Perang Romawi–Persia disebut sebagai konflik yang "sia-sia" dan terlalu "menekan dan melelahkan untuk dipikirkan".[185] Secara profetis, Kassios Dio mengamati "siklus konfrontasi bersenjata tanpa akhir" ini dan berpendapat bahwa "telah diperlihatkan sendiri oleh fakta-fakta bahwa penaklukan [Severus] merupakan sumber perang dan pengeluaran yang besar dan konstan bagi kita. Karena konflik ini hanya menghasilkan sedikit dan menyedot sejumlah banyak; dan kini kita telah mencapai bangsa-bangsa yang merupakan tetangga orang Medes dan Parthia bukannya tetangga kita sendiri, kita selalu, jika boleh dibilang, melakukan pertempuran yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang itu."[186][187] Dalam rangkaian panjang perang antara dua kekuatan besar itu, garis depan di Mesopotamia hulu cenderung tidak berubah. Para sejarawan mengamati bahwa kestabilan garis depan selama berabad-abad itu luar biasa, meskipun Nisibis, Singara, Dara dan kota-kota lainnya di Mesopotamia hulu berpindah tangan seiring waktu, dan kepemilikian kota-kota perbatasan ini membuat kekaisaran yang memilikinya memperoleh keuntungan dalam hal perdagangan atas musuhnya. Seperti yang Frye sebutkan:[181]

Orang akan merasa bahwa darah yang ditumpahkan dalam peperangan antara dua negara itu hanya memberikan sedikit hasil bagi satu pihak ataupun pihak lainnya seperti beberapa meter tanah yang diperoleh dengan pengorbanan yang mahal dalam peperangan parit pada Perang Dunia Pertama.

Kedua belah pihak berupaya untuk membenarkan tujuan militer mereka dengan cara yang aktif dan reaktif. Cita-cita Romawi untuk menguasai dunia ditambah dengan dengan rasa kebanggaan dalam peradaban barat, serta diperkuat dengana danya ambisi untuk menjadi penjaga perdamaian dan keteraturan. Sumber-sumber dari Romawi memperlihatkan prasangka lama berkaitan dengan adat, struktur agama, bahasa, dan bentuk pemerintahan negara-negara di Timur. John F. Haldon menggarisbawahi bahwa "meskipun konflik antara Persia dan Romawi Timur berkutat di sekitar isu mengenai kendali strategis di sekitar perbatasan timur, tetapi selalu ada unsur ideologi dan agama yang muncul". Sejak masa Konstantinus, kaisar Romawi mengangkat diri mereka sendiri sebagai pelindung orang-orang Kristen di Persia.[189] Sikap ini menciptakan kecurigaan yang besar terhadap kesetiaan orang Kristen yang tinggal di Iran Sassaniyah, dan sering kali berujung pada ketegangan Romawi–Persia atau bahkan konfrontasi militer.[190][191] Satu ciri dari fase final konflik ini, ketika apa yang telah dimulai pada 611–612 M sebagai perang penyergapan dengan segera berubah menjadi perang penaklukan, adalah penggunaan Salib sebagai simbol kejayaan imperial, dan juga unsur keagamaan yang kuat dalam propaganda imperial Romaw; Heraclius menegcam Khosrau sebagai musuh Tuhan, dan para penulis pada abad ke-6 dan ke-7 M sangat memusuhi Persia.[192][193] Trradisi pemikiran bersejarah "pro-Romawi" ini bertahan selama berabad-abad, dan baru pada zaman sekarang para sejarawan mengadopsi pendekatan yang lebih luas, dan berusaha untuk memperjelas posisi Persia yang kurang diketahui.[194]

Sumber untuk sejarah Parthia dan perang melawan Romawi hanya ada sedikit dan tidak lengkap. Bangsa Parthia mengikuti tradisi Akhemenyah dan lebih menyukai historiografi lisan. Akibatnya, ketika bangsa Persia ditaklukkan, sejarah mereka banyak yang hilang. Dengan demikian sumber utama untuk periode ini berasal dari sejarawan Romawi (Tacitus, Marius Maximus, dan Justiusn) dan Yunani (Herodianosos, Kassios Dio dan Plutarkhos). Buku ketiga belas Orakel Sibyl menceritakan pengaruh Perang Romawi–Persia di Suriah sejak masa pemerintahan Gordianus III sampai dominasi provinsi oleh Odaenathus dari Palmyra. Dengan berakhirnya catatan Herodianosos, semua naratif kronologis kontemporer mengenai sejarah Romawi pun hilang, sampai munculnya naratif karya Lactantius dan Eusebius pada awal abad ke-4 M, keduanya dari sudut pandang Kristen.[195][196]

Sumber utama untuk periode Sassaniyah awal tidaklah sezaman. Di antaranya yang paling penting adalah orang Agathias dan Malalas dari Yunani, Tabari dan Ferdowsi dari Persia, Agathangelos dari Armenia, dan Kronik Suryani tentang Edessa dan Arbela, sebagian besar dari mereka bersumber pada sumber-sumber Sasaniyah akhir, khususnya Khwaday-Namag. Sejarah Augustus tidak sezaman dan tidak tepercaya, tetapi itu merupakan sumber naratif utama bagi Severus dan Carus. Inskripsi tiga bahasa (Yunani, Parthia, dan Persia Pertangahan) Shapur merupakan sumber primer.[197][198] Akan tetapi semua itu merupakan upaya terisolasi dalam mendekati historiografi tulisan dan tidak menjelaskan banyak hal mengenai sejarah Persia, bhkan ada akhir abad ke-4 M, praktik mengukir relief batu dan menuliskan inskripsi pendek telah ditinggalkan oleh orang Sassaniyah.[198]

Untuk periode antara 353 dan 378 M, ada sumber saksi mata mengenai peristiwa utama di perbatasan timur dalam Res Gestae karya Ammianus Marcellinus. Untuk peristiwa-peristiwa selama periode antara abad ke-4 dan ke-6 M, karya-karya Sozomenus, Zosimus, Priscus, dan Zonaras adalah sangat bernilai.[199] Sumber tunggal paling penting untuk perang Persia Justinianus sampai tahun 533 M adalah Procopius. Penerusnya Agathias dan Menander Protector juga memberikan banyak rincian penting. Theophylact Simocatta adalah sumber utama untuk masa pemerintahan Mauricius,[200] sedangkan Theophanes, Chronicon Paschale dan puisi-puisi karya George dari Pisidia adalah sumber yang berguna untuk masa akhir perang Romawi–Persia. Selain sumber Bizantium, dua sejarawan Armenia, Sebeos dan Movses, ikut berkontibusi dalam menceritakan naratif perang Heraclius dan oleh Howard-Johnston disebut sebagai "sumber non-Muslim terpenting yang masih tersisa".[201]

TEMPO.CO, Jakarta - Seiring berkembangnya teknologi, aplikasi penerjemah bahasa asing semakin dibutuhkan masyarakat. Aplikasi penerjemah memungkinkan pengguna untuk menerjemahkan Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia secara mudah tanpa perlu repot membuka kamus. Sehingga, kehadiran aplikasi penerjemah sangat membantu dalam kehidupan sehari-hari.

Ada banyak aplikasi translate Bahasa Inggris-Indonesia terbaik yang bisa digunakan. Bahkan, aplikasi penerjemah bisa diakses secara gratis baik melalui browser atau aplikasi. Nah, apa saja aplikasi translate terbaik saat ini? Dirangkum dari berbagai sumber, berikut 8 aplikasi translate Bahasa Inggris-Indonesia terbaik yang bisa dicoba.

Perang Romawi–Sasaniyah

Konflik berlanjut tidak lama setelah penggulingan kekuasaan Parthia dan pendirian Kekaisaran Sassaniyah oleh Ardashir I. Ardashir menggempur Mesopotamia dan Suriah pada 230 M lalu menuntut penyerahan seluruh wilayah bekas kekuasaan Kekaisaran Akhemeniyah.[32][33][34] Setelah perundingan yang tanpa hasil, Alexander Severus menyerang Ardashir pada 232 M dan berhasil memukul mundurnya.[35][36][37] Pada 238–240 M, menjelang akhir masakekuasaannya, Ardashir menyerang lagi, menaklukkan beberapa kota di Suriah dan Mesopotamia, termasuk Carrhae dan Nisibis.[38][39] Peperangan terus berlanjut dan semakin keras di bawah penerus Ardashir, Shapur I, yang menginvasi Mesopotamia. Pasukannya dikalahkan pada Pertempuran Resaen pada 243 M sehingga Romawi dapat merebut kembali Carrhae dan Nisibis.[40] terdorong oleh kemenangan ini, kaisar Romawi Gordianus III bergerak menuju Efrat namun malah dipukul mundur di dekat Ktesiphon dalam Pertempuran Misiche pada 244 M.[40][41][42][43]

Pada awal 250-an M, kaisar Philippus si Arab terlibat dalam perebutan kekuasaan atas Armenia. Shapur membunuh raja Armenia dan akibatnya perang melawan Romawi kembali terjadi. Shapur mengalahkan Romawi pada Pertempuran Barbalissos, dan kemudian barangkali dia menaklukkan dan menjarah Antiokia.[40][44] Antara 258 dan 260 M, Shapur menangkap kaisar Valerianus I setelah mengalahkan pasukan Romawi pada Pertempuran Edessa. Shapur lalu bergerak ke Anatolia, tetapi dia dikalahkan oleh pasukan Romawi di sana, selain itu dia juga diserang oleh Odaenathus dari Palmyra sehingga pasukan Persia terpaksa harus mundur dari wilayah kekuasaan Romawi.[45][46][47][48]

Kaisar Carus melancarkan invasi yang sukses terhadap Persia pada 283 M. Dia menjarah Ktesiphon, ibu kota Sassaniyah. Ini adalah kali ketiga Ktesiphon dijarah. Romawi bisa saja meneruskan penaklukan mereka namun Carus keburu meninggal pada bulan Desember pada tahun tersebut.[49][50][51][52] Setelah perjanjian damai yang singkat pada masa pemerintahan Diocletianus, Persia kembali menyulut permusuhan ketika mereka menginvasi Armenia dan mengalahkan pasukan Romawi di dekat Carrhae pada 296 atau 297 SM.[53][54] Namun, Galerius manghancurkan pasukan Persia dalam Pertempuran Satala pada 298. Dia berhasil menguasai baitulmal dan harem kerajaan. Tindakan ini sangat memalukan bagi pihak Persia. Perjanjian damai yang disepakati berikutnya membuat Romawi memperoleh daerah yang terbentang antara Tigris dan Greater Zab. Ini adalah kemenangan Romawi paling telak selama puluhan tahun, karena Romawi berhasil menguasai kembali seluruh wilayah mereka yang pernah hilang, ditambah dengan seluruh wilayah yang diperebutkan, serta seluruh wilayah Armenia.[55][56][57][58]

Perdamaian pada 299 M berlangsung sampai pertengahan 330-an M, ketika Shapur II memulai serangkaian serangan terhadap Romawi. Meskipun memperoleh beberapa kemenangan dalam pertempuran, kampanyenya tidak memberikan pengaruh jangka panjang: tiga pengepungan Persia atas Nisibis berhasil dipukul mundur, dan meskipun Shapur sempat menaklukkan Amida dan Singara, kedua kota itu dengan cepat direbut kembali oleh Romawi.[53] Shapur sibuk memerangi serangan kaum nomad terhadap Persia pada 350-an M sehingga tidak mengurusi Romawi, tetapi setelah itu dia melancarkan kampanye baru lagi pada 359 Ma dan lagi-lagi menaklukkan Amida. Tindakan ini memicu serangan balasan oleh kaisar Romaw, Julianus, yang menyusuri Efrat sampai ke Ktesiphon.[59] Julianus memenangkan Pertempuran Ktesiphon namun tidak dapat merebut ibu kota Persia itu dan mundur sampai ke Tigris. Diserang ole Persia, Julianus terbunuh dalam sebuah pertempuran kecil. Dengan terjebaknya pasukan Romawi di pesisir barat Efrat, penerus Julianus, Jovianus menyepakati perjanjian dengan Persia. Dia menyerahkan beberapa wilayah dengan syarat pasukan Romawi diizinkan keluar dari wilayah Sassaniyah dengan selamat. Romawi menyerahkan wilayah kekuasaan mereka di sebelah timur Tigris, selain juga Nisibis dan Singara. Setelah itu Shapur dengan cepat menaklukkan Armenia.[60] Pada 384 atau 387 M, perjanjian damai disepakati oleh Shapur III dan Theodosius I, yang membagi Armenia menjadi dua, masing-masing untuk Romawi dan Persia. Sementara itu, wilayah utara Romawi diserang oleh suku Hun, Alan, dan Jermanik, sedangkan wiayah utara Persia terancam pertama oleh suku Hun dan kemudian oleh orang-orang Heftalit. Karena kedua kekaisaran menghadapi ancaman masing-masing, akhirnya keduanya tidak saling menyerang selama beberapa waktu. Periode damai ini hanya diselingi oleh dua perang singkat, yang pertama pada 421–422 M dan yang kedua pada 440 M.[61][62][63]